Wednesday, September 30, 2009

Ibu Saya Bukan Teman Facebook Saya

Ibu Saya Bukan Teman Facebook Saya

Rabu, 30 September 2009 | 09.43 WIB



KOMPAS.com - Kami tertarik dengan tanggapan Ibu Rani yang menulis komennya di www.kompas.com untuk tulisan "Digital Native vs Digital Immigrant" yang dimuat di kolom ini beberapa waktu lalu.

Di sana Ibu Rani mengatakan: "Anak saya umurnya 20 tahun dan adalah contoh digital native karena dia memang hidup 24 jam online….saya adalah digital immigrant, orang yang mencoba untuk bisa masuk ke dunia digitalnya anak saya… Dan yang menyedihkannya, ketika coba ikut Facebook dan add anak saya (lewat friend request), dia malah ignore bukannya malah confirm."

Ibu Rani ternyata tidak sendirian ikut-ikutan Facebook.  Seperti yang telah ditulis sebelumnya,  Facebook saat ini semakin dibanjiri oleh ibu-ibu. Menurut data yang dirilis oleh Facebook sendiri, pertumbuhan tercepat populasi di situs jejaring sosial ini adalah segmen 35 tahun ke atas. Dan menurut Erick Qualman dalam Socialnomics, segmen yang juga cukup pesat tumbuhnya adalah wanita umur 55-65 tahun.

Ibu Rani juga bukan satu-satunya yang diabaikan oleh anaknya ketika mengirim friend request di Facebook. Karena ibu-ibu lain pun juga banyak yang di-ignore oleh anak-anaknya. Dan fenomena "My Mom is My Friend, But Not My Facebook Friend" ternyata menjadi fenomena global.

Seorang kolumnis di New York Times, Michelle Slatalla, pernah menulis tentang hal ini di harian tersebut dengan judul "'OMG My Mom Joined Facebook!!' Di dalam artikel tersebut ditulis bahwa dinamika dunia Facebook adalah refleksi hubungan kita di dunia offline. Pengalaman yang didapatkan oleh seorang ibu di jaman sekarang ketika masuk ke dunia online lewat Facebook dan malah tidak dianggap oleh anaknya mungkin merefleksikan bahwa si ibu itu tidak menjadi bagian dari jejaring sosial anaknya di dunia offline (baca: nyata).

Lori Aratani menulis hal yang kurang lebih sama di Washington Post di dalam artikel berjudul "When Mom or Dad Asks To Be a Facebook Friend." Di sana ditulis bahwa semakin banyak orang tua jaman sekarang yang ikut Facebook dan ternyata mereka tidak hanya add anaknya saja, tapi juga teman-teman anaknya. Banyak yang confirm friend request dari orang tua mereka. Tapi banyak pula yang ignore karena kurang sreg untuk memasuki orang tua mereka ke dalam komunitas jejaring mereka di dunia online. Bagi mereka itu "seperti mengajak orang tua ikut main bareng dengan teman-teman."  

Di dalam bukunya "Me, MySpace, and I: Parenting the Net Generation", Larry Rosen mengatakan bahwa fenomena jejaring sosial dianggap oleh orang tua sebagai jendela yang transparan untuk melihat secara dekat gerak-gerik perilaku anak mereka. Makanya mereka berbondong-bondong masuk ke dunia online ini untuk seakan beraksi ibarat intel. Di sisi lain, anak-anak mereka menganggap dunia online adalah milik mereka, dan orang dewasa (terutama kaum digital immigrant) hanyalah penyusup.

Confirm or Ignore?

Internet membuat dunia semakin transparan. Di dalam situs jejaring sosial seperti Facebook, MySpace, Twitter, Plurk, dan lain sebagainya, kita bisa tahu banyak hal termasuk apa yang dilakukan, dirasakan, dikatakan oleh teman kita. Di situs tersebut, berbagai hal yang sifatnya pribadi bisa kita lihat di halaman profil mereka.

Ada yang sengaja membuka profilnya untuk umum. Ada juga yang membuka profilnya untuk dilihat oleh orang-orang yang telah 'disetujui' dan 'dipastikan' (confirmed) untuk jadi temannya. Lewat sistem seperti ini kita tidak perlu ragu menaruh data pribadi tentang diri kita. Di Facebook, contohnya, kita bisa buka-bukaan, tampil apa adanya dan merasa nyaman karena mereka yang kita konfirm adalah orang-orang yang ingin kita bawa masuk ke dunia komunitas kita.

Steve Jones, seorang professor ilmu komunikasi di Chicago, mengatakan bahwa selama ini ada pemikiran yang salah. Di dunia online terlihat betul bahwa orang-orang cenderung menjauhkan apa-apa yang sifatnya pribadi bukan ke mereka yang tak dikenal, tapi justru kepada orang yang mereka kenal dekat. Artinya mereka tidak peduli apakah yang mereka share di dunia online itu dilihat oleh orang-orang umum. Tapi mereka sangat peduli ketika hal-hal yang sifatnya private justru dilihat oleh orang yang mereka kenal dekat.

Apa yang dibilang oleh Steve Jones mungkin ada benarnya. Situs jejaring sosial yang bermunculan sampai sekarang yang pasti telah membuat kata "teman" jadi lebih blur. Di dunia online seperti ini, orang asing (strangers) kita anggap teman, sedangkan dengan teman yang notabenenya adalah teman kita sebenarnya atau orang yang kita kenal dekat, justru kita malah berinteraksi dengan canggung.

Pertanyaan confirm or ignore yang dilematis ini tidak hanya dirasakan oleh anak-anak ketika mendapat friend request dari para orang tua di rumah. Di kantor pun fenomena yang sama juga dirasakan oleh para karyawan ketika ingin 'berteman' dengan boss-nya. Jared Sandberg menulis hal ini di artikel berjudul "OMG -- My Boss Wants to 'Friend' Me On My Online Profile" yang dimuat di harian Wall Street Journal.

Seperti yang ditulis di sana, dengan adanya Facebook, hubungan yang hirarkis antara atasan dan bawahan di dunia offline, mendadak terlihat horizontal di dunia online. Dan pada akhirnya sisi pribadi sesungguhnya dari boss dan karyawan jadi terlihat betul. Meskipun demikian banyak karyawan yang tidak rela untuk berteman dengan boss-nya di Facebook, karena itu tandanya ia harus mengorbankan segala bentuk hal yang sifatnya personal. Begitu juga sebaliknya dengan si boss ketika di add sebagai teman di Facebook oleh anak buahnya.

Confirming the Community

Satu yang dapat dijadikan alasan kenapa fenomena yang diceritakan di atas terjadi adalah karena pada dasarnya karakter si ibu tidak relevan dengan tujuan, identitas, dan nilai-nilai yang miliki oleh komunitasnya si anak. Meskipun sama-sama 'on' di dunia Facebook, bukan berarti para orang tua bisa 'in' ke dunia komunitas jejaring sosial anaknya. Karena untuk masuk ke sana, diperlukan karakter yang sejalan dengan tujuan, identitas, dan nilai-nilai yang dijunjung tunggi  oleh komunitas anaknya.

Dulu di era legacy, aktivitas targeting the segment menjadi langkah strategi yang menentukan gerak-gerik arah pemasaran suatu perusahaan. Di sana konsumen yang menjadi target pasar dieksploitasi oleh pemasar lewat 4P-nya (product, price, place, and promotion). Dan itu semua dilakukan tanpa peduli, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, selama konsumen menjadi target market sebuah perusahaan, konsumen akan menerima bentuk eksploitasi tersebut.

Di era New Wave ini, praktek yang demikian menjadi tidak lagi relevan. Sejalan dengan apa yang dibahas kemarin, kita tidak lagi berbicara tentang targeting the segment namun confirming the community. Karena di era pemasaran seperti ini, orientasi pemasaran berbasiskan komunitas konsumen yang saling kenal bukan lagi segmen konsumen yang tidak kenal satu sama lain. Praktek yang dilakukan dalam rangka konfirmasi terhadap (dan oleh) komunitas ini sendiri bernuansakan horisontal, karena pada dasarnya langkah ini dijalankan dua arah.

Bukan saja perusahaan yang mengkonfirm sebuah komunitas karena kemiripannya dengan karakter merek perusahaan, namun juga si komunitas sendiri harus mengkonfirm bahwa perusahaan yang ingin masuk ke dalam komunitas tersebut adalah 'teman' yang baik. 

Hal yang terpenting yang harus dilakukan oleh pemasar dalam hal ini adalah mencari relevansi antara komunitas dan perusahaan. Percuma saja kalau sebuah komunitas jumlah anggotanya banyak, pertumbuhan jumlah anggotanya juga terus meningkat. Namun, ternyata komunitas tersebut tidak punya relevansi yang sama dengan kita alias tidak punya identitas dan nilai-nilai yang sama.

Hermawan Kartajaya

http://m.kompas.com/news/read/data/2009.09.30.09435572

Monday, September 28, 2009

Top 10 Ways to Prevent Breastfeeding Problems

Diambil dari :
http://site.todaysparent.com/mobi/Article.aspx?scrapeURL=content=20090623_104913_7924&page=1&cat=Baby

Top 10 Ways to Prevent Breastfeeding Problems

Lactation expert Teresa Pitman shares the top ways to stop breastfeeding issues before they begin

Teresa Pitman

Monday, July 06, 2009

1. Be prepared
Plan ahead while you are pregnant to free up some time once your baby is born. If your baby nurses 10 times a day, and each feeding takes roughly half-an-hour, that's five hours a day – and you haven't even changed diapers, gotten up any burps, or had a shower. It will get easier and less time-consuming, but first you have to get through these early days. If you can stock your freezer with easy meals, or arrange to have dinner delivered, or bring someone in to do housework (even if it's your Mom), you'll be able to focus on getting breastfeeding well established.

2. Consider possible challenges
Find out about any issues you may have. For example, have you had breast surgery of any kind? That doesn't mean breastfeeding is out of the question, but it may be helpful for you to talk to a lactation consultant or other experts to be prepared for any difficulties. Do you have inverted nipples (ones that sink down into the breast rather than poking up)? Again, breastfeeding usually works just fine with this less-common type of nipple, but consulting in advance can be helpful. If you take any medications, find out now if they are compatible with breastfeeding (most are) and discuss alternatives with your doctor.

3. Get advice
If there's a La Leche League Group (LLL) in your community, go to a meeting – or a full series of four, if possible – while you're still pregnant. Learning from other mothers who have "been there" is a great way to get practical advice that works in the real world. As new mom Christina McCarthy says, "My midwife told me to go to an LLL meeting before I had my baby. This way, if I did run into any issues, I would feel more comfortable asking for help from people I'd already met. I was glad I went – it was the first time I had ever seen anyone nurse a baby up close. Being there showed me that nursing didn't have to be a big production. I watched in amazement as women casually breastfed their babies. It was very reassuring because I'd heard horror stories about how hard nursing was."

4. If possible, let baby pick his birth day
Breastfeeding is a fairly complex skill for a newborn, and the baby who arrives a little early – even a week or two – may have difficulty figuring out how to coordinate latching on, sucking and breathing. Most of them get it eventually, but being induced before baby is ready can make getting started harder.

5. Be aware of the impact of interventions
Pain-relieving medications, such as epidurals, and other interventions in labour and birth can all make breastfeeding a little more challenging. A 2009 study in Sweden found that significantly fewer babies of mothers who had epidurals during labour were able to breastfeed during the first four hours after birth, and significantly fewer were fully breastfed at discharge from the hospital. And as for IVs, those extra fluids added to your system have to go somewhere, and once your baby is born some will end up in your breasts. It's tough for a little baby to latch on to breasts that are painfully swollen with these fluids, as well as milk.

There are times, of course, when inductions, IVs and anaesthetics in labour or even a Caesarean section are essential, and many mothers do breastfeed successfully after these interventions. Don't hesitate to ask for extra help. You may need to hand-express milk for the first few days (until your milk comes in and any engorgement has gone away – at that point, a pump may work) until your baby is able to latch and nurse effectively. If you've had a C-section, ask for help to find a comfortable position for feeding the baby, perhaps using a pillow to protect your incision. Be patient with your baby and with yourself!

6. Ask for anti-fungal
If you need antibiotics during labour (or afterward), ask about taking an anti-fungal medication as well. Antibiotics increase your risk of developing thrush, an overgrowth of a yeast organism that is normally on your body that can cause sore nipples for you and a sore mouth for your baby.

7. Allow baby to self-latch
Allow your baby to self-attach at the breast. Babies, as it turns out, know a lot more about breastfeeding that we used to think. Given the opportunity, your newborn can move to your breast and latch on effectively. These instincts are strong right from birth and seem to last for at least four to six weeks. Here's how to do it: Lie on your back, or get comfortable in a semi-reclining position or sit upright, supporting the baby's shoulders and bottom as he lies vertically (head toward your head) on your chest or abdomen. Then just follow his lead as he moves toward one breast or the other.

8. Stay close
Keep your baby close to you so you can feed as often as the baby wants to. A 2006 UK study divided newborns randomly into three groups. Babies in the first group were kept in bed with their mothers, those in the second group were in a co-sleeper attached to each mother's hospital bed, and the babies in the third group stayed in little bassinets next to the mothers' beds. The babies who were in bed with the mother breastfed more than twice as often when compared to the babies who had been in the bassinet instead. (Those in the co-sleeper arrangement were in between, but similar to the bedsharing babies.) Four months later, those babies who had been in bed with their mothers were about twice as likely to still be breastfed as those who had been kept in the bassinet.

If you opt to keep your baby in a bassinet or crib, watch closely for feeding cues. Babies generally breastfeed frequently in the early days and this is important to establish a good milk supply. Swaddling or wrapping your baby, or giving him a pacifier, can make it harder for him to let you know "hey, mom, I need to nurse again."

9. Skin-to-skin
As much as you can, keep your baby in skin-to-skin contact with you. This will both signal your breasts to make more milk, and encourage your baby to feed frequently and calmly. The easiest way to do this is to wear an oversized, button-front shirt with nothing underneath. If you're sitting down or reclining, your baby can just lie tummy-down on your chest. If you need to be up and walking around, a wrap-type baby carrier can help keep the baby in place.

10. Don't watch the clock
Watch your baby instead. Rules like "feed the baby for 20 minutes on each side" or "wait four hours between feedings" don't mesh with what researchers tell us about how breastfeeding works. The only way your baby can increase your milk production, if he needs to, is by feeding more frequently, and in the early days those frequent feedings are essential to establish the "milk factories" you need. And only your baby really knows how much milk he's getting and how long he needs to stay at the breast – guidelines like "20 minutes" are based on averages, and neither you nor your baby are average!

Originally published in Todaysparent.com, August 2009
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Friday, September 11, 2009

Mitos : Bayi cuma bisa minum pake botol dot

Ini pengalaman pribadi kok : waktu hamil dulu, belanja buat persiapan lahirannya selain baju bayi & popok, ya beli botol dot.

Apalagi dulu masih jaman kegelapan, masih beranggapan gak semua ibu bisa nyusuin. Pun kalo bisa sukses perah asi kayak gemy (temen gw yg udah punya anak duluan dan bikin gw terheran2 liat dia ngeluarin electric breastpumpnya dan bisa perah asi sebotol penuh), ngasih asi perahnya ya pake botol dot!

Begitu ammar lahir, untunglah di rs ypk yg pro asi, ibunya dipaksa belajar nyusuin & mandiin bayi, PLUS nonton minumin asi perah pake gelas (dengan berjutajuta perasaan takjub & ternganga nganga : wow, bayinya gak keselek!)

Yeap, bayi pun bisa kok minum dari gelas. Nggak peduli umurnya baru sehari atau beberapa jam.
Memang butuh proses (baca : belajar). Semuanya saling belajar. Bayinya belajar minum dari gelas, yg nyuapin juga belajar ngasih minum bayi dari gelas.

Percaya deh, bayi minum pake botol dot pun perlu proses belajar juga.

Tehnik menghisap asi (breastmilk latch on) berbeda dengan menghisap dot. Saat menyusu pada ibunya, puting dan sebagian areola berada di mulut bayi hingga langit2 mulut yg lembek (soft palate).





Dan caranya mengeluarkan asi dari payudara ibu adalah dengan 'memompa'nya dengan lidah pada areola bagian bawah.



Untuk lebih jelasnya, coba tonton yang ini :
http://www.youtube.com/watch?v=Zln0LTkejIs


Makanya kalo latch on nya nggak benar, hanya puting yg masuk mulut bayi, puting ibu dipompa, tertekan pada bagian langit2 mulut yg keras (hard palate). Akibatnya, puting lecet, asi tidak keluar sempurna, bayi tidak mendapat cukup asi, ibunya sakit, anaknya tidak kenyang.

Nah, itulah yg terjadi pada dot. Dot hanya masuk sampai langit2 yg keras. Dan tanpa perlu usaha yg keras dari lidah bayi, cairan dari dalam botol bisa keluar tanpa susah payah.

Ini ada beberapa link untuk nonton cara kasih asip pake gelas :
http://www.youtube.com/watch?v=JnTLlc8hNPs
http://www.youtube.com/watch?v=-G-NJGerSZY
http://www.youtube.com/watch?v=AWgUVyqwSzA
http://www.youtube.com/watch?v=oK2XjxDuliQ
http://www.youtube.com/watch?v=GEgg2d_vf6U&NR=1

Oke, sekarang saya sudah memutuskan untuk tidak memakai dot.
Tapi saya masih takut bayinya keselek!
Jangankan pake gelas...gendong aja masih takut-takut....???


Kalo pengasuhnya masih ragu2 juga, ada beberapa alternatif utk pemberian asip :

- Pipet
- Spuit tanpa jarum
- Sendok








Intinya, bayi bisa kok minum tanpa botol / dot
Bangun keyakinan diri ibu & lingkungan sekitar (terutama pengasuh yg nanti dititipi untuk memberi asi perah) untuk bisa melakukannya