Friday, September 19, 2008

Sebatang Ranting

Sebatang ranting berkeluh kepada daun, "Enaknya menjadi dirimu! Ringan, bebas bergerak, berwarna indah, tidak menanggung beban seperti diriku.."

Si daun menganga melongo mendengar keluhan ranting. Selama ini ia mendambakan menjadi sekokoh ranting yang bisa menjadi tumpuan barisan dirinya dan saudara-saudaranya. Ia menjawab, "Bukannya aku beresiko mati muda? Kalau sang angin sudah menghembus, kan aku yang terbang terinjak duluan? Sementara kau masih menggelantung kuat diatas sini"

Usia ranting memang sudah renta, dirinya sudah terkelupas, menjalar memanjang tak tentu arah, menyediakan tempat untuk timbul hilangnya para daun-daun muda.

Tapi ternyata kekokohan bukan segalanya. Ia terlalu muak melihat keseharian manusia yang berhamburan lalu lalang di bawahnya. "Setiap hari ada saja kebisingan yang dibuat mereka", keluhnya. "Aku ingin tamat saja! Katanya ada kehidupan sesudah mati? Aku ingin berubah! Menjadi daun yang mudah tumbuh dan terbang. Tak apa takdir mempermainkanku. Yang penting tak cukup lama menonton ulah aneh-aneh di bawah sana!"

Lalu si daun tertawa terpingkal-pingkal, "Jadi kau sesali dirimu karena hal-hal yang tidak mengenaimu? Hahaha... Cobalah renungkan sendiri, apakah para manusia dibawah sana tak takut bila hujan badai mengamuk sementara kau menari terpaksa bersama kabel listrik itu? Mereka juga muak denganmu saat itu. Tapi mereka butuh dirimu pada saat sengatan matahari membakar aspal jalanan dan menyatakan hawa panas hari. Dimana mereka mau berteduh kalau tak ada dirimu? Tak akan ada aku kalau kau tak ada!"

Ranting masih dalam dengusannya, "Kau masih muda. Tahu apa dengan tarianku?"
Lalu seekor kucing terperangkap di atas si ranting dan mencengkeram dirinya hingga patah dan berdebum. Tak menyangka pada saat mengeluh ia mengakhiri ajalnya, si ranting pun terkapar pasrah : terinjak, terlindas, terbungkam beku pada akhirnya.

Ternyata kehidupan lain sesudah mati itu bukan reinkarnasi seperti fantasinya dulu. Melainkan perhitungan dari Sang Maha Mulia atas segala sebab akibat dari masa kehidupannya dulu. "Oooh...", keluh ranting, "...seandainya dulu aku tak hanya menilai orang. Seandainya aku mengerjakan apa yang menjadi kemampuanku, walaupun hanya meneduhi. Seandainya hidupku kuhabiskan untuk berbuat hal nyata, bukan hanya menilai orang?"


Regards,
iRa, ibunya aMMaR
http://ammarpipi.blogspot.com
http://izox.blogspot.com

No comments:

Post a Comment